0 / 0

Apakah Wanita Dibolehkan Beri’tikaf Untuk Orang Tuanya Yang Telah Meninggal?

Pertanyaan: 66998

Apakah wanita dibolehkan beri’tikaf untuk orang tuanya yang telah meninggal dunia?

Teks Jawaban

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Sebagian ahli ilmu berpendapat boleh melakukan ibadah apa saja dan dihibahkan pahalanya kepada orang yang meninggal dunia. Sementara ulama lainnya mencukupkan dengan apa yang ada dalam nash terkait masalah ibadah.

Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizahullah ditanya, “Apa sesuatu yang dapat bermanfaat untuk orang mati dari orang yang masih hidup? Apakah ada perbedaan antara ibadah badan dan selain badan. Kami mohon dijelaskan kepada kami masalah ini dan tolong diberikan kaidah yang dapat kami rujuk setiap kali kami dapatkan masalah seperti ini. Tolong diberi penjelasan. Terimaksih

Maka beliau menjawab, “Yang bermanfaat bagi orang mati dari orang hidup adalah apa yang ditunjukkan oleh dalil, yaitu berupa doa, permohonan ampunan, bershodaqah, haji, umroh melunasi hutang-hutangnya dan melaksanakan wasiat yang sesuai syariat. Semuanya itu telah ada dalil yang menunjukkan anjurannya. Sebagian ulama memasukkan semua ibadah yang dilakukan orang Islam dan dapat dijadikan pahalanya untuk orang muslim hidup maupun mati. Yang kuat adalah cukup apa yang ada dalilnya, sebagai pengkhususan atas firman Allah Ta’ala:

( وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى ) النجم‏/39‏

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)

Wallahua’lam (Al-Muntaqa, 2/161)

Sementara terkait khusus dua orang tua, maka agama telah menjadikan anak adalah hasil jerih payah ayahnya.

 إِنَّ مِمَّا يَلْحَقُ الْمُؤْمِنَ مِنْ عَمَلِهِ وَحَسَنَاتِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ : عِلْمًا عَلَّمَهُ وَنَشَرَهُ ، وَوَلَدًا صَالِحًا تَرَكَهُ ، وَمُصْحَفًا وَرَّثَهُ ، أَوْ مَسْجِدًا بَنَاهُ ، أَوْ بَيْتًا لابْنِ السَّبِيلِ بَنَاهُ ، أَوْ نَهْرًا أَجْرَاهُ ، أَوْ صَدَقَةً أَخْرَجَهَا مِنْ مَالِهِ فِي صِحَّتِهِ وَحَيَاتِهِ يَلْحَقُهُ مِنْ بَعْدِ مَوْتِهِ   (رواه ابن ماجه، رقم  242  ، وصححه ابن خزيمة،  4 / 121 ، وحسَّنه المنذري والألباني كما في  صحيح الترغيب   1 / 18)

“Sesungguhnya yang menyertai orang mukmin dari amalan dan kebaikan setelah kematiannya adalah ilmu yang diajarkan dan disebarkannya, anak saleh yang ditinggalkannya, mushaf yang diwariskan, masjid yang dibangunnya, rumah untuk Ibnu Sabil yang dibangunnya atau sungai yang dialirkan atau shodaqah yang dikeluarkan dari hartanya waktu sehat dan semasa hidupnya, maka (semua itu) akan menyertainya setelah kematiannya.” (HR. Ibnu Majah, no. 242, dinyatakan shahih Ibnu Huzaimah, 4/121 dan dinyatakan Hasan Munziri dan Albani sebagaimana terdapat dalam Shahih At-Targhib, 1/18)

As-Sindy mengatakan dalam ‘Hasyiyah Ala Sunan Ibni Majah, “Anak saleh dimasukkan sebagai amalan dan pengajaran adalah bagus. Karena orang tua adalah sebab akan keberadaannya dan sebab kesalehannya dengan bimbingannya kepada petunjuk (hidayah). Sebagaimana anak dikatakan sebagai amalan itu sendiri seperti dalam Firman Allah Ta’ala “Sesungguhnya ia bukan amal yang saleh”

Syekh Al-Albany rahimahullah mengatakan, “Apa yang dilakukan anak saleh berupa amal saleh, maka kedua orang tuanya akan mendapatkan pahala semisalnya, tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun. Karena anak adalah hasil dari usaha keduanya. Sementara Allah Azza Wajalla berfirman

وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلا مَا سَعَى   (سورة النجم: 39)‏

“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)

Rasulullah sallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إن أطيب ما أكل الرجل من كسبه ، وإن ولده من كسبه

“Sesungguhnya yang terbaik dari apa yang dimakan seseorang adalah hasil dari usahnya. Dan sesungguhnya anaknya adalah hasil dari usahanya.”

Diriwayatkan oleh Ashabus Sunan empat dan dinyatakan shahih oleh Syekh rahimahullah – dengan penguatan riwayat lainnya (syawahid). (Ahkamu Al-janaiz, hal. 126, 217)

Syekh Shaleh Al-Fauzan hafizhaullah ditanya, “Apa amalan yang bermanfaat dan berfaedah untuk kedua orang dua sewaktu hidup dan meninggal dunia?”

Beliau menjawab, “Amalan-amalan itu adalah berbakti kepada keduanya. Berbuat baik kepada keduanya dengan ucapan dan perbuatan. Menunaikan keperluannya dari sisi nafkah, tempat tinggal dan selain dari itu serta bersama-sama dengannya. Perkataan baik dan melayani kepada keduana. Sebagaimana Firman Ta’ala:

 وَقَضَى رَبُّكَ أَلا تَعْبُدُوا إِلا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا  (سورة الإسراء‏: 23)‏

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (QS. Al-Isra’: 23)

Terutama ketika telah tua. Adapun (amal yang dapat dilakukan) setelah mereka meninggal dunia adalah, tetap berbakti kepada keduanya dengan berdoa, bersadaqah untuknya, menghajikan, mengumrohkan, melunasi hutang-hutangnya yang masih menjadi tanggungannya, bersilaturrahim yang ada kaitan dengan keduanya. Begitu juga berbakti kepada teman keduanya, serta menunaikan wasiat yang disyariatkan.” (Al-Muntaqa, 2/162)

Kedua,

Adapun terkait dengan I’tikafnya wanita, sesungguhnya i’tikaf disunnahkan bagi lelaki dan wanita. Akan tetapi seyogyanya ada batasan bagi para wanita dengan ada izin dari keluarga atau suaminya dan dalam i’tikafnya tidak terjadi fitnah

Syekh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Seorang wanita beri’tikaf, selagi dalam i’tikafnya tidak terjadi fitnah. Kalau dalam I’tikafnya terjadi fitnah, maka tidak boleh dilakukan. Karena sesuatu yang sunah, dikala berdampak pada sesuatu yang dilarang, maka harus dilarang. Seperti mubah kalau berdampak seesuatu yang dilarang, maka harus dilarang. Jika dia beri’tikaf di masjid, dan kemudian disana ada fitnah seperti yang terjadi di Masjidil Haram. karena Masjidil Haram tidak ada tempat khusus bagi para wanita. Kalau dia beri’tikaf pasti dia akan tidur, baik malam ataupun siang. Sementara dia tidur di tempat para lelaki lalu lalang, adanya fitnah.

Dalil dianjurkannya i’tikaf bagi para wanita adalah i’tikafnya istri-istri Rasulullah sallallahua alaihi wa sallam sewaktu beliau masih hidup dan setelah meninggal dunia. Akan tetapi kalau dikhawatirkan ada fitnah, maka dia harus dilarang. Karena Nabi sallallahu’alaihi wa sallam melarang yang lebih ringan dari itu. Ketika beliau sallallahu’alaihi wa sallam ingin beri’tikaf dan suatu hari beliau keluar. Ternyata sudah ada tenda untuk Aisyah, tenda untuk fulanah. Maka Nabi sallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Apakah kebaikan yang  mereka inginkan? Kemudian beliau memerintahkan untuk membongkarnya. Dan beliau tidak beri’tikaf  pada tahun itu dan diqhadhanya pada bulan Syawwal. Hal ini menunjukkan bahwa i’tikafnya wanita, kalau terjadi fitnah. Maka lebih utama untuk dilarang.” (As-Syarh Al-Mumti, 6/510, 511)

Kesimpulannya adalah seyogyanya seseorang memperbanyak amalan saleh untuk dirinya, sebelum ajal menjemputnya dan terputus amalnya. Sehingga kedua orang tuanya akan mendapatkan bagian dari pahala amalan saleh ini tanpa mengurangi pahala anak-anaknya. Dan beri’tikaf termasuk amalan saleh. Dan seorang wanita hendaknya sebagaiana ketentuan dan aturan seperti dalam perkataan Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah.

Wallahua’lam .

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android