0 / 0
27,27407/10/2015

Seorang Wanita Yang Menikah-lah Yang Berhak Mendapatkan Mahar Bukan Walinya Dan Baginya Dibolehkan Menjadikan Mahar Tersebut Berupa ; Uang, Harta Benda, Emas, Perabotan Rumah Tangga Atau Sesuatu Yang Bermanfaat Lainnya

Pertanyaan: 217246

Siapakah yang memiliki hak untuk menentukan mahar? Sang ayah ataukah mempelai pengantin putri? Sekiranya ada sumber yang mengatakan: Sesungguhnya mahar adalah hak bagi mempelai pengantin putri, dan penentuannya dari kedua belah pihak yaitu lelaki yang melamar dan mempelai putri, tanpa adanya campur tangan dari wali dan anggota keluarga yang lain akan hal tersebut.

Apakah dibolehkan seorang wanita meminta mahar selain berupa uang dan emas? Karena sebagian orang mengatakan, Sesungguhnya baginya dibolehkan meminta perlengkapan dan perabotan rumah tangga atau bahkan hanya meminta hidangan makan malam.


Saya menginginkan mahar saya kelak adalah seorang pembantu perempuan yang membantu saya dalam menyelesaikan segala aktifitas rumah tangga seharian penuh, maka apakah yang demikian itu dibolehkan ??

Teks Jawaban

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

..

Pertama :

As-Shodaaq –juga dinamakan Mahar – adalah suatu keharusan dalam pernikahan; sebagaimana firman Allah Ta’ala :

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً (سورة النساء: 4)

“ Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan ”.(QS. An Nisaa’ /4)

Kata: Nihlah: adalah sebuah keharusan dan kewajiban.

Juga berdasarkan hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam bagi orang yang hendak menikah,

اذْهَبْ فَالْتَمِسْ وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ (رواه البخاري، رقم 5121 ، ومسلم، رقم  1425).

“Pergilah dan carilah dirumahmu meski hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi.” (HR.  Bukhari, no. 5121, dan Muslim, no. 1425).

Dan di dalam sunnah yang disucikan terdapat anjuran untuk memberikan kemudahan kepada pihak lelaki terkait mahar, dan penjelasan akan hal tersebut beserta dalil-dalilnya telah disebutkan sebelumnya pada fatwa nomor  10525.

Dan setiap manusia berbeda-beda dalam hal maharnya sesuai dengan kebiasan dan adat-istiadat mereka. Di antara mereka ada yang menjadikan mahar berupa uang, ada yang menjadikan emas sebagai maharnya, ada yang menggabungkan tiga hal sekaligus berupa  emas dan uang, baik dibayarkan langsung pada saat akad nikah maupun di bayarkan pada masa mendatang, perabot serta perlengkapan rumah tangga. Semua itu tidak ada salahnya, selama telah terjadi kesepakatan dan keridaan kedua belah pihak.

Demikian pula mahar dibolehkan berupa sesuatu yang bermanfaat, terdapat dalam kitab Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah (39/104), “Madzhab Maliki yang terpopuler, madzhab Syafiiyyah serta Hanabilah berpendapat bahwasan sesuatu yang bermanfaat bisa dijadikan sebagai mahar.”

Atas dasar tersebut, maka dibolehkan bagi anda untuk mensyaratkan kepada suami anda agar maharnya kelak adalah seorang pembantu perempuan, yang dia menggajinya untuk anda agar membantu aktifitas anda sepanjang waktu. Cukuplah bagi anda mahar tersebut, dan anda bisa meminta sesuatu yang lain beserta mahar tadi berupa emas atau perabot rumah tangga, dan selama mahar itu ringan dan memudahkan, maka hal tersebut lebih utama.

Kedua :

Mahar merupakan hak bagi mempelai wanita dan bukanlah wewenang walinya, dan dalil akan hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala :

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً (سورة النساء: 4)

“Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (QS. An Nisaa: 4).

Terdapat penafsiran dalam Tafsir Al Qurthubi ( 5 / 23 ) :

“Pembicaraan dalam ayat ini ditujukan untuk para suami, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdullah bin Abbas dan yang lainnya; Allah Ta’ala memerintahkan kepada mereka agar berderma dan bersedekah dengan memberikan mahar-mahar sebagai sebuah kewajiban dan keharusan dari mereka – para suami – untuk istri-istri mereka. Ada pendapat lain yang mengatakan: Pembicaraan ini ditujukan untuk para wali, karena para wali mengambil mahar dari putri mereka dan tidak diberikan kepada mereka sedikitpun, lalu mereka melarang yang demikian dan memerintahkan agar para wali membayarkan mahar kepada putri mereka ”.

Dan apabila mahar benar-benar untuk kaum wanita maka berlaku ketentuan sebagaimana berikut :

1. Sesungguhnya perempuanlah yang yang menentukan jumlah mahar beserta walinya, kemudian wali tersebut yang mengurus ketentuannya dengan calon suami berdasarkan apa yang telah dikatakan mempelai perempuan. Jika dia menentukan untuk calon suaminya mahar tertentu, maka tidak boleh bagi calon suami untuk menentangnya, dan tidak pula mengurangi dari jumlah yang telah disebutkan. Mempelai putri boleh mewakilkan kepada walinya secara mutlak lalu wali menentukan mahar sesuai apa yang dikehendaki. Hal inilah yang dilakukan oleh kebanyakan orang, sesungguhnya walinyalah yang menentukan mahar dan dialah yang membuat kesepakatan dengan calon suami, dia juga yang menentukan apa yang berlaku dengannya adat-istiadat dan kebiasaan di masyarakat dan yang demikian itu dilakukan demi kemaslahatan mempelai perempuan.

2. Dibolehkan bagi mempelai perempuan setelah akad nikah terjadi menggugurkan semua kesepakatan jumlah mahar atau sebagiannya, dengan syarat pada saat itu kondisinya sedang sadar dan tidak terpengaruh dengan suatu apapun, sebagaimana yang terdapat dalam kitab Al Mughni, bnu Qudamah,  ( 7 / 255 ) : 

Apabila seorang istri tidak menginginkan mahar yang diberikan oleh suaminya untuk dirinya, atau sebagian darinya, atau mahar tersebut diberikan kepada suaminya setelah dalam genggamannya, karena dialah pemilik harta tersebut, maka hal itu dibolehkan dan tetap menjadi sah, kami tidak menemukan adanya perselisihan; sebagaimana firman Allah Ta’ala :

إِلا أَنْ يَعْفُونَ (سورة البقرة: 237]

“Kecuali jika istri-istrimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah.”

Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah mereka para istri, sebagaimana Firman Allah Ta’ala :

فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (سورة النساء::4(

“Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An Nisaa’ : 4) 

Dan yang paling utama sekarang adalah hendaknya dia – istri – tidak melakukan yang demikian melainkan telah bermusyawarah dengan keluarganya, terlebih lagi ini merupakan pernikahan pertama dalam keluarganya dan di dalam masalah-masalah semacam ini bisa jadi sang ayah yang lebih memiliki pandangan jauh ke depan dan lebih memahami kebaikan putrinya, karena sesungguhnya ketika tidak melibatkan musyawarah dengan keluarga dalam urusan yang demikian kadang akan menyebabkan timbulnya perselisihan antara dia dan keluarga besar mereka. Dan setiap sesuatu yang menyebabkan kerukunan dan kasih sayang maka Allah Ta’ala memerintahkan akan hal tersebut, dan setiap yang menimbulkan pertikaian dan permusuhan maka Allah mencegah dan melarangnya.

Wallahu A’lam..

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android