Aku mendengar bahwa Syekh Abdullah bin Jibrin berkata, 'Dibolehkan mengankat jari setelah berwudu dan membaca Laa ilaaha illallah, dan aku saksikan banyak orang yang melakukannya. Aku mohon pandangan yang menjelaskan masalah ini dengan tuntas.
HUKUM MENGANGKAT JARI KETIKA BERDOA SETELAH BERWUDU
Pertanyaan: 129501
Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.
Tidak terdapat riwayat dari sunnah Nabi –sepengetahuan kami- yang menyatakan disunnahkannya mengangkat jari telunjuk ketika berdoa setelah wudu secara khusus. Sebagaimana diketahui bahwa prinsip dasar dalam ibadah adalah tawqifi (ditetapkan berdasarkan wahyu, tidak dengan akal) dan tidak boleh ada penambahan dari apa yang dinyatakan dalam sunnah.
Yang disyariatkan bagi seorang muslim setelah berwudu adalah membaca, 'Asyhadu Allaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah, wa asyhadu anna muhammadan abduhu wa rasuuluh' (HR. Muslim, no. 234) dan tidak cukup hanya membaca 'Laa ilaaha illallah' saja.
Syekh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, Apa hukum mengangkat jari dalam doa setelah berwudu, dan hal itu dilakukan secara terus menerus?
Beliau menjawab, 'Saya tidak mengetahui adanya landasan dalam masalah itu. Akan tetapi yang disyariatkan bagi orang yang selesai berwudu adalah membaca, 'Asyhadu Allaa ilaaha illallah wahdahu laa syariikalah, wa asyhadi anna muhammadan abduhu wa rasuuluh, Allahummaj'alni minattawwaabin waj'alni minal mutathahhirin.' Dan itu sudah cukup.
(Nurun Alad-Darbi, Fatawa Thaharah, Furudhul Wudu wa Sifatuh)
Adapun yang disebutkan penanya bahwa Syekh Ibnu Jibrin rahimahullah menyatakan bahwa hal itu (mengangkat jari ketika membaca doa wudu) adalah sunnah, tidak dapatkan ucapannya yang menyatakan sunnahnya perbuatan tersebut.
Memang ada beberapa hadits shahih yang mengajarkan untuk memberi isyarat dengan telunjuk saat membaca tasyahhud dalam shalat, dan saat seorang khatib berdoa di atas mimbarnya pada hari Jumat. Adapun ketetapan hal tersebut setelah berwudu, tidak ada.
Peringatan.
Allah member sifat bagi kalam (perkataan)-Nya, dengan sifat 'Qaulun Fashl' (Memisahkan antara yang hak dan yang batil), sebagaimana firman-Nya,
إِنَّهُ لَقَوْلٌ فَصْلٌ . وَمَا هُوَ بِالْهَزْل (سورة الطارق: 13-14)
Sesungguhnya Al Quran itu benar-benar firman yang memisahkan antara yang hak dan yang bathil. dan sekali-kali bukanlah dia senda gurau. (QS. Ath-Thariq: 13-14)
Karena itu, tidak layak ijtihad para ulama dalam memahami teks dalam Al-Quran dan Sunnah dikatakan sebagai Qaulun Fashl, atau dengan redaksi lain, 'Apakah kalimat yang tuntas dalam masalah ini?' Kecuali jika pendapat tersebut dalilnya telah dinyatakan secara qath'i (jelas) dalam Al-Quran dan Sunnah, seperti haramnya zina, haramnya minuman keras, dll.
Adapun perkara ijtihad, maka tidak dikatakan padanya, 'pendapat tuntas', akan tetapi yang layak diucapkan adalah, 'Yang lebih tampak..' atau 'yang lebih kuat, atau lebih benar' dan redaksi yang semacamnya.
Wallahua'lam.
Refrensi:
Soal Jawab Tentang Islam