0 / 0

JIKA TERJADI IJAB QABUL SAAT MELAMAR, APAKAH TELAH TERJADI PERNIKAHAN?

Pertanyaan: 147796

Mohon berikan saya fatwa tentang perkataan sebagian orang bahwa sekedar terjadi lamaran dan kesepakatan antara kedua belah pihak dengan mas kawin pihak laki-laki kepada wanita yang ingin menikah, misalnya, berjumlah 100 ribu real. Maka dengan demikian telah halal wanita tersebut bagi sang laki-laki termasuk halal dalam hubungan badan, karena akad nikah hanya sunah saja. Yang wajib adalah ijab qabul dan kesepakatan antara kedua belah pihak, yaitu adanya pihak laki-laki yang qabul (menerima) wali yang hendak menikahkan puterinya kepadanya. Bukan akad pernikahan seperti yang mereka katakan.

Teks Jawaban

Puji syukur bagi Allah, dan salam serta berkat atas Rasulullah dan keluarganya.

Pertama

Ada perbedaan antara khitbah (melamar) dengan akad nikah. Khitbah adalah menyampaikan keinginan untuk menikahi seorang wanita. Umumnya sang wali tidak langsung menikahkannya (ijab), dia akan menundanya dan menunggu pendapat sang wanita. Kadang sang wali dapat berjanji untuk menikahkannya.

Adapun akad, dia memiliki rukun dan syarat-syaratnya. Di antara rukun-rukunnya adalah, ijab dan qabul. Ijab berasal dari wali atau wakilnya, sedangkan qabul dari suami atau wakilnya.

Jika walinya adalah bapaknya, maka dia berkata, ‘Aku nikahkan engkau dengan puteriku yang bernama …….. Sedangkan sang suami berkata, ‘Aku terima nikahnya fulanah.

Dikatakan dalam kitab Kasyaful Qana’, 5/37, ‘Pernikahan tidak terlaksana kecuali dengan adanya ijab qabul. Ijab adalah ucapan yang besumber dari wali atau siapa yang berperan dengan perannya seperti wakilnya.”

Sebagian ahli fiqih seperti kalangan Hambali memberikan syarat agar ijab didahulukan dari qabul. Lihat Al-Mughni, 7/61

Termasuk syarat sahnya akad nikah adalah adanya dua orang saksi muslim. 

Kedua:

Sebagian pernikahan terjadi tanpa khitbah. Langsung terjadi ijab qabul sementara sang wanita ridha dan ada kehadiran dua orang saksi. Pernikahan seperti itu sah. Hal ini sudah ada sejak dahulu, dan hingga kini pun masih ada.

Tidak dikatakan bahwa akad adalah sunnah, sedangkan yang wajib adalah ijab dan qabul. Justeru ijab qabul itulah akad nikah, dan itu terlaksana dengan ucapan. Tidak disyaratkan ditulis atau dicatat. Pencatatan hanya diperlukan untuk memelihara hak. Tidak disyaratkan pula pernikahan harus melalui petugas pernikahan. Akan tetapi cukup terjadi ijab qabul dari pihak wali dan suami.

Ketiga:

Jika terjadi ijab qabul saat khitbah (melamar), lalu keduanya berjanji untuk melaksanakan akad di  lain waktu, maka pernikahan tidak terlaksana kecuali ketika akad. Karena hal tersebut berarti penyataan bahwa apa yang terjadi saat khitbah bukan akad.

Adapun jika terjadi ijab qabul dalam khitbah, namun keduanya tidak berjanji melaksanakan akad di lain waktu dan mereka tidak menyebutkannya. Apabila adat atau kebiasaan yang berlaku bahwa hal tersebut dapat dianggap janji dan pengantar akad nikah, maka hal tersebut tidak dikatakan akad nikah. Akan tetapi jika adat yang berlaku adalah bahwa hal tersebut dianggap akad, maka dia dianggap akad.

Syekh Olaisy Al-Maliki rahimahullah, “Apa pendapat anda tentang seseorang yang mengutus orang lain kepada sesorang untuk melamar puterinya yang pertama, atau kepada puteranya. Lalu orang tersebut melakukan ijab dan berjanji untuk melaksanakan akad pada malam pengantin. Orang tersebut mengirim untuknya sejumlah bahan pakaian. Kemudian dia meminta keluarganya untuk mempersilahkannya berjumpa dengannya, lalu keluarga wanita tersebut menyiapkan acara pengantin. Kesimpulannya kemudian orang tersebut tinggal bersama dan melakukan hubungan badan dengan sang wanita, tanpa akad dan saksi. Dia mengira bahwa keduanya sudah dia dapatkan dari kedua orang tuanya.

Beliau menjawab, “Laki-laki dan wanita tersebut harus dipisah. Tidak dikatakan bahwa pernikahannya batal, karena belum terjadi akad pada mereka. Dan wajib dipastikan bebasnya rahim dari wanita tersebut (dari kemungkinan mengandung benih dari sang laki-laki).

Al-Allamah At-Tawadi dalam Syarh At-Tuhfah berkata, Abu Salim Ibrahim Al-Jalaly ditanya tentang kebiasaan yang terjadi apabila ada seseorang yang melamar seorang wanita untuk dirinya atau untuk anaknya, lalu pihak keluarganya menjawabnya dengan sikap menerima dan mereka berjanji akan melakukan akad pernikahan pada malam perkawinan. Kemudian pihak laki-laki mengirim hinna dan berbabagai perlengkapan. Lalu kaum wanita membunyikan suara saat terjadi lamaran sehingga terdengar oleh orang lain dan para tetangga. Kemudian mereka berkata, si fulan telah menikahi fulanah… lalu kemudian mungkin terjadi kematian, atau pertikaian…

Beliau menjawab: “Jika adat yang berlaku di masyarakat tersebut bahwa jika terjadi lamaran kemudian telah dinyatakan qabul (penerimaan) menganggapnya sebagai mukadimah bagi pernikahan yang syar’i pada malam pengantin nanti, dan tidak ada hal yang bersifat mengikat di antara mereka, akan tetapi sebatas isyarat adanya keinginan pelakunya, maka tidak mengapa jika hal tersebut tidak dianggap sebagai akad nikah dan tidak memiliki konsekwensi apa-apa terkait dengan pernikahan.

Adapun jika adat yang berlaku bahwa hal tersebut dapat dianggap sebagai akad pernikahan dengan segala konsekwensinya, maka tidak mengapa jika hal itu dianggap sebagai akad antara keduanya, dan berlaku bagi keduanya hukum pernikahan.

Jika kondisinya tidak dapat diketahui, sekiranya mereka bertanya, Apakah yang mereka maksud adalah berjanji atau menyepakati, lalu tidak ada jawaban pasti di antara keduanya, maka yang difatwakan oleh Al-Mazdagi bahwa hal tersebut dianggap sebagai akad nikah dan berlaku konsekwensi hukumnya. Sedangkan Al-Baqqini berpendapat bahwa tidak terjadi akad dalam semua kondisi. Kemudian At-Tawadi berkata, ‘Kesimpulannya, jika adat yang berlaku bahwa jika saat melamar mendapatkan jawaban persetujuan dianggap sebagai akad, walaupun dari orang yang mewakilkannya, baik dari suami atau wali, dan hal tersebut diketahui oleh suami dan isteri, serta mereka ridha dengan hal itu, maka pendapat yang kuat bahwa telah terjadi akad nikah dan berlaku konsekwensi hukumnya. Adapun jika adat yang berlaku bahwa persetujuan tersebut hanya sebatas penerimaan saja, atau dia diam atau menjanjikan, maka tidak dianggap sebagai akad. Wallahua’lam.”

Pertimbangan adat berlaku apabila tidak ada pernyataan yang jelas. Adapun jika ada pernyataan janji bahwa akad syar’I akan dilaksanakan pada malam pengantin, maka tidak ada pertimbangan adat. Karena hal itu berarti menghapus pertimbangan adat yang dapat menyimpalkan bahwa hal itu merupakan akad.”

Fatawa Syaikh Olaisy, 1/420. Lihat Syarah At-Tawadi, 1/17, Syarah Mubarat Ala Tuhfatil Hukkam, 1/155.

Umumnya sekarang orang membedakan antara lamaran dan akad pernikahan.

Wallahua’lam.

Refrensi

Soal Jawab Tentang Islam

at email

Langganan Layanan Surat

Ikut Dalam Daftar Berlangganan Email Agar Sampai Kepada Anda Berita Baru

phone

Aplikasi Islam Soal Jawab

Akses lebih cepat ke konten dan kemampuan menjelajah tanpa internet

download iosdownload android